Disamping lemah sanadnya, hadis ini juga menyelisihi hadis riwayat Imam Muslim dalam kitab sahihnya, dan ini termasuk periwayatan yang terbalik dari seorang perawi). Ketujuh: Semua hadits tentang (keutamaan) salat 'asyura' (hari ke-10 bulan Muharram atau malamnya) itu lemah, di antaranya adalah hadits berikut ini. 1 Kaedah keaslian sanad sebagai acuan. Benih-benih kaedah kesahihan hadis telah muncul pada zaman sahabat Nabi. Imam asy-Syafi'i (wafat 204 H/ 820 M), Imam al-Bukhari, Imam Muslim, dan lain-lain telah memperjelas benih-benih kaedah itu dan menerapkannya pada hadis-hadis yang mereka teliti dan mereka riwayatkan. C Al-Qur'an baik lafaz dan maknanya merupakan mu'jizat, hadis bukan mu'jizat D. Al-Qur'an diturunkan melalui perantara Jibril, hadis melalui mimpi Nabi. E. Membaca al-Qur'an bernialai ibadah dan berpahala, membaca hadis tidak. B. Jawablah pertanyaan-pertanyaan dibawah ini dengan benar ! 1. Apa yang dimaksud sunnah menurut istilah? 2. Karenaitulah Ilmu Rijal al-Hadis merupakan keistimewaanummat dihadapan ummat lainnya. Ilmu Rijal al-Hadis juga membahas periwayatan yang tsiqah dan dha'if serta asal usul tentang periwayatan hadis.21 Banyak hal yang menyebabkan sejarah para periwayat hadis menjadi objek kajian dalam Ilmu Rijal al-Hadis. Diantaranya sebagai berikut: 1. SitiZainab. 15 April 2022. Di artikel ini kami akan membagikan Contoh Soal Qurdis kelas 10 semester 2 Tentang Hadis Sumber Ajaran Agama Islam, Ada 50 contoh soal yang kami berikan dalam bentuk soal pilihan ganda dan soal essay. Soal soal ini bisa menjadi evaluasi atau latihan untuk mata pelajaran ini. Dan bisa juga menjadi acuan atau bahan Pengutipandan periwayatan hadis tidak diterima kecuali dari orang-orang £iqat. Berkenaan dengan al-jarh, Rasulullah saw. bersabda : Dari ketiga pendapat mengenai peringkat-peringkat lafaz al-jarh wa al-ta'dil di atas, peringkat yang dikemukan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani yang banyak diikui oleh ulma berikutnya, sebab klasifikasi yang Silsilahatau rentetan periwayat hadis dikenal dengan "sanad hadis". Jadi yang dimaksud dengan 'harus bersambung sanad' artinya harus pernah bertemu langsung sebagai guru dan murid. Bukti dari keterkaitan tersebut dapat dilihat dari tahun wafat dan lahirnya di antara periwayat yang terlibat. Darisegi lambang-lambang periwayatan, hadis di atas tergolong mu'an'an dan mu'anan, yang diperselisihkan tentang kebersambungan sanad-nya oleh para ulama hadis. Namun, setelah dilakukan penelitian tentang kualitas pribadi para periwayatannya dan hubungan periwayat tersebut dengan periwayat sebelumnya, maka seluruh sanad- nya dinyatakan 5Y6q69. Pertanyaan Saya tahu bahwa hadits mutawatir disyaratkan para perawinya hafal hadits atau membacanya dari apa yang ditulis kepada orang yang di bawahnya. Bagaimana kalau perawinya mengalami gangguan pikiran atau kejiwaan? Teks Jawaban Alhamdulillah. Hadits mutawatir adalah apa yang diriwayatkan oleh orang banyak dimana tidak memungkinkan semuanya bersepakat untuk berdusta di antara mereka sampai pada akhir sanad, dan riwayatnya bersandar pada indera, maksudnya pada salah satu dari lima indra. Dengan demikian, maka tidak ada kemungkinan rawi yang wahm tidak tepat atau salah. Karena sekiranya seorang rawi itu hafalannya jelek atau lemah. Maka karena banyaknya perawi yang bersepakat pada satu kabar, jadi dapat menguatkan. Adapun terkait dengan perawi hadits itu sendiri, kalau dia mengalami masalah pikiran, maka para pakar hadits telah membuat persyaratan yang ketat untuk menerima periwayatan seorang perawi, dengan memperketat menerima haditsnya disebabkan lemah atau kesalahan hafalannya. Mereka mensyaratkan perawi harus orang Islam, berakal, teliti hafalnnya, teliti saat meyampaikan hafalannya. Teliti pula dalam penulisannya kalau dia memberitahukan dari tulisannya. Dia diharuskan bertakwa dan menghindari kemaksiatan. Dia tidak dikenal sebagai kefasikan atau terang-terangan melakukan kemaksiatan. Begitu juga mereka mensyaratkan agar perawi selamat dari pelanggaran yang tidak etis. Dimana prilakunya bagus tidak menyimpang perbuatannya atau ada indikasi yang meragukan dalam prilakunya. Seperti memakai pakaian yang tidak sesuai di acara umum atau yang semisal itu. Kemudian setelah dicek keselamatan perawi, maka mereka juga membandingkan periwayatannya dengan periwayatan ulama lain yang mumpuni mutqin. Untuk menguatkan keselamatan haditsnya dari keganjilan dan adanya penyakit illah yaitu kesalahan atau menyalahi yang lebih terpercaya darinya. Baik dari sisi kwantitas bilangan atau dari sisi hafalan dan ketelitiannya. Hal ini terkadang samar-samar dimana kebanyakan pencari ilmu dan kesulitan untuk mendapatkannya. Akan tetapi ketika mereka bersungguh-sungguh pada diri mereka dan menggunakan akalnya dalam mencari dan memilah, sampai benar-benar kuat akan keselamatan perawi dan keselamatan yang diriwayatkannya. Oleh karena kita dapati para ulama membuat persyaratan hadits shaheh itu ada lima, yaitu perawinya adil, mencakup selamat dari sebab kefasikan dan pelanggaran yang tidak etis. dengan tepat periwayatnnya sesuai dengan apa yang diriwayatkan. bersambung dari awal sampai akhir. Dimana pada setiap perawi mendengarkan langsung dari orang yang diatasnya. selamat dari keganjilan dalam sanad dan matannya isi hadits. Arti syuzuz nyeleneh adalah perawinya itu berbeda dengan orang yang lebih kuat darinya. selamat dari illah penyakit dalam sanad dan matannya. Illah adalah sebab tersembunyi yang dapat menggugurkan keabsahan hadits dimana hal itu diketahui oleh para imam yang kredibel. Dari sini jelas, bahwa tidak ada tempat menerima hadits dari perawi yang mengalami gangguan akal yang berpengaruh terhadap ketepatan periwayatannya. Begitu juga kalau didapati masalah kejiwaan menjadikan sebab tidak diterima untuk memberitahukan hadits atau mengajar. Karena dia tidak dapat dijadikan sandaran periwayatan dari Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam. Bahkan perawi tidak diterima periwayatannya sampai para ulama terpercaya dibidang ini memberikan persaksian bahwa haditsnya termasuk yang diterima. Wallahu ta’ala a’lam Silahkan lihat kitab Tadribu Ar-Rowi karangan Suyuti, 1/68-75, 155, An-nukat Ala Ibni As-Sholah karangan Ibnu Hajar, 1/480. BAB IPENDAHULUANA. Latar Belakang Hadis merupakan rujukan kedua dalam kajian hukum Islam setelah Al-Qur’an. Oleh karena itu, kedudukan hadis sangat signifikan dan urgen dalam Islam. Hanya saja urgensi dan signifikansi hadis tidak mempunyai makna, manakala eksistensinya tidak didukung oleh uji kualifikasi historis yang memadai dalam proses transmisinya periwayatan. Mempelajari hadis adalah bagian dari keimanan umat terhadap kenabian Muhammad Saw. Hal ini karena figur Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah Allah Swt. itu tidak bisa diteladani kecuali dengan pengetahuan yang memadai tentang diri dan sejarah hidupnya serta tentang sabda dan perilaku hidupnya yang terkait sebagai pembawa risalah. Kajian tentang sabda dan perilaku Nabi oleh para ahli diformulasikan dalam wujud ilmu hadis ulumul hadis. Dalam ulumul hadis, hadis Nabi yang dipelajari tidak hanya menyangkut sabda atau teks matan hadis, tetapi menyangkut seluruh aspek yang terkait dengannya, terutama menyangkut periwayatan hadis dan orang-orang yang meriwayatkannya. Melakukan pengkajian secara khusus tentang periwayatan hadis itu sangat penting. Dengan menunjukkan macam-macam periwayatan hadis, adab atau tata cara periwayatan hadis, serta cara-cara menerima dan menyampaikan hadis dapat diketahui mana hadis yang shahih dan mana hadis yang dha’if. Maka pengkajian seperti yang telah disebutkan di atas dirasa perlu untuk menambah pengetahuan dan ilmu-ilmu baru serta sebagai penunjang pemahaman terhadap hadis Nabi. Hadis dapat didefinisikan sebagai segala perbuatan, ucapan dan ketetapan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Faktanya hadis tidaklah langsung disampaikan dari Nabi langsung kepada periwayat hadis tersebut, karena mereka hidup di era yang berbeda. Akan tetapi, hadis sampai kepada periwayat hadis melalui banyak cara yang dinamakan tahamul wal ada’ dan banyak perantara. Mulai dari sahabat, tabi’in, tabi’uttabiin, syaikh dan akhirnya sampai pada periwayat. Pada makalah ini penulis akan membahas tentang bentuk-bentuk periwayatan hadis pada bab selanjutnya. B. Rumusan Masalah1. Apa pengertian dari periwayatan hadits?2. Bagaimana ciri-ciri orang yang meriwayatkan dan menerima hadits?3. Bagaimana bentuk periwayatan hadits?BAB IIPEMBAHASANA. Pengertian Periwayatan HaditsSebelum terhimpun dalam kitab-kitab hadis, hadis Nabi terlebih dahulu telah melalui proses kegiatan yang dinamai dengan riwayatul hadis atau al-riwayah, yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan dengan periwayatan. Kata al-riwayah adalah masdar dari kata kerja rawa dan dapat berarti al-naql penukilan, al-zikr penyebutan, al-fatl pemintalan dan al-istoqa’ pemberian minum sampai puas. Sementara sesuatu yang diriwayatkan, secara umum juga biasa disebut dengan riwayat.[1]Sementara secara istilah ilmu hadis, menurut M. Syuhudi Ismail yang dimaksud dengan al-riwayah adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta penyandaran hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima hadis dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaiakan hadis itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis. Sekiranya orang tersebut menyampaiakan hadis yang diterimanya kepada orang lain, tetapi ketika menyampaikan hadis itu tidak menyebutkan rangkaian para periwayatnya, maka orang tersebut juga tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatan definisi di atas, dapat ditarik beberapa point penting yang harus ada dalam periwayatan hadis Nabi, yaitu1. Orang yang melakukan periwayatan hadis yang kemudian dikenal dengan ar-rawiy periwayat.2. Apa yang diriwayatkan al-marwiy3. Susunan rangkaian pera periwayat sanad/isnad4. kalimat yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal dengan kegiatan yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadis at-tahamul wa ada al- Hadis.Adapun metode mempelajari hadits / menerima hadits yang biasa di pakai secara umum oleh ulama berbagai generasi adalahAl-Sima’, yaitu seorang guru membaca hadits yang dihafalnya atau yang ada di kitab tertentu di hadapan murid, orang mendengarkan kata-katanya. Metode ini dipandang paling bagus di antara metode yang ada menurut para ulama hadits. Tetapi ada juga yang berpendapat, alangkah baiknya kalau disamping mendengar juga mencatat, ketimbang mendengar saja. Kedua metode yang menyatu ini mempersempit peluang tercecernya hadits. Al-Qira’ah ala al-Syaikh. Yaitu seorang murid membaca hadits yang boleh jadi diperoleh dari guru yang lain di depan guru. Agaknya metode ini diilhami oleh sebuah peristiwa ketika Dhammam ibn Tsa’labah memperoleh informasi dari orang lain, kemudian bertanya kepada Rasulullah, “apakah Allah memerintahkan agar engkau sholat beberapa kali?” Rasulullah menjawab “ya”. Al-Ijazah. Metode ini adalah sebuah metode dengan pemberian izin seorang guru kepada murid untuk meriwayatkan buku hadits tanpa membaca hadits tersebut sata demi satu. Al-Munawalah. Yaitu seorang guru memberi sebuah atau beberapa hadits atau kitab utuk diriwayatkan. Metode ini mirip ijazah ada ungkapan eksplisit dari guru bahwa murid diberi ijazah boleh meriwayatkan hadits yang diberikan. Al-Mukatabah yaitu sorang guru menulis hadits untuk tulisan seorang ulama tentang hadits yang dikirimkan kepada ulama lain. Kelihatannya, metode ini secara implisit mengandung ijazah. Itu sebabnya, ada yang berpendapat bahwa metode ini dengan ijazah ini lebih baik. Menurut Prof, A’zami dalam terminologi modern, cara ini dapat disebut korespodensi. I’lam al-Syaikh yaitu pemberian informasi guru kepada murid bahwa hadits-hadits yang ada dalam kitab tertentu itu hasil periwayatan yang diperoleh guru dari si fulan, tanpa menyebut izin / ijazah periwayatan si murid kepada orang lain. Al-Wasyiyah yaitu seorang guru mewasiatkan buku-buku hadits kepada muridnya sebelum pergi atau meninggal. Al-Wijada yaitu ada orang yang menemukan catatan atau buku hadits yang ditulis oleh orang lain tanpa ada rekomendasi untuk meriwayatkan hadits di bawah bimbingan dan kewenangan seseorang. Metode ini disamping dilakukan orang pada masa lalu banyak juga dilakukan pada masa sekarang di mana banyak orang memperoleh hadits dari buku tanpa melalui proses seperti di atas.[2] B. Bentuk Periwayatan Haditsa. Bil LafadziDalam kamus besar Indonesia, periwayatan adalah kata yang memberoleh awalan “me” dan akhiran “an” yang berasal dari kata “riwayat” yaitu cerita yang turun temurun. Periwayatan hadis dengan lafadz dimaksudkan adalah periwayatan hadis dengan menggunakan lafadz sebagaimana Rasulullah SAW tanpa ada penukaran kata, penambahan dan pengurangan sedikitpun walaupun hanya satu kata. Riwayat hadis dengan lafal ini sebenarnya tidak ada persoalan, karena sahabat menerima langsung dari Nabi baik melalui perkataan maupun perbuatan dan pada saat itu sahabat langsung menulis atau yang terkenal ketat dalam menjaga otentisitas redaksi hadis adalah Abdullah bin Umar. Ia tidak memperkenankan adanya pengurangan atau penambahan satu huruf pun dari redaksi hadis. Dalam sebuah kasus, ia pernah menegur Ubaid bin Amir ketika meletakkan puasa dalam lima prinsip Islam pada urutan nomor tiga yang seharusnya ada pada urutan nomor empat. Dikisahkan pula bahwa Barrā’ ibn Ä€zib pernah diajari oleh Rasulullah saw. sebuah do’a sebelum tidur yang didalamnya ada kata “bi nabiyyika” dan ketika itu al-Barra’ menyakan apakah kata itu bisa diganti dengan “bi rasÅlika” beliau menolak, dan tetap meneruskan dengan kata “bi nabiyyik”. Tingkat kepedulian para sahabat dalam menjaga otentisitas hadis ini tergambar jelas ketika mereka tidak gegabah dalam meriwayatkan hadis sebelum mereka yakin betul kebenaran lafal dan ketepatan huruf serta memahami maknanya. Jika mereka menemukan keraguan untuk meriwayatkan sebuah hadis, mereka memilih diam. Hal demikian dilakukan karena mengingat peringatan keras Nabi saw yang akan memasukkan mereka pada golongan pendusta hadis. Sikap demikian tidak hanya terjadi di tingkatan pada sahabat tetapi dapat ditemui pula dari pendapat segolongan ulama fiqh, ulama ushul dan ulama hadis yang tidak memberikan ruang sedikitpun pada periwayatan hadis secara makna. Mereka mewajibkan periwayatan hadis dengan lafal dan tidak memperbolehkan periwayatan dengan makna sama tetapi dalam kenyataannya periwayatan hadis dengan lafal ini sangat sedikit jumlahnya. Ciri-ciri hadis yang memang harus diriwayatkan dengan lafal ini hanya terbatas pada antara laina. Hadis yang merupakan lafal-lafal ibadah ta’abbudiyyah, seperti tentang bacaan azan, zikir, doa, syahadat. Hadis yang bisa dijadikan contoh untuk lafal ibadah ini seperti bacaan dzikir yang diriwayatkan dari Shaddad bin Aus ra. bahwa Rasulullah سيد الاستغفار اللهم أنت ربي، لا إله إلا أنت، ØÙ„قتني وأنا عبدك، وأنا على عهدك ووعدك ما Ø§Ø³ØªØØ¹Øª، أبوء لك بنعمتكّ عليّ، وأبوء لك بذنبي فاغفر لي، فإنه لا يغفر الذنوب إلا أنت، أعوذ بك من شر ما صنعت. إذا قال حين يمسي فمات دØÙ„ الجنة، أو كان من أهل الجنة، وإذا قال حين يصبح فمات من يومه Ù…ØÙ„Ù‡.Artinya “Paling tingginya ucapan istighfar adalah Ya Allah Engkaulah Tuhanku, tiada Tuhan selain Engkau, Engkau menciptakanku maka aku adalah hamba-Mu. Dan atas janji dan ancaman-Mu aku lakukan semampuku. Aku akui segala nikmat-Mu bagiku, dan ku akui segala dosa ini pada-Mu maka ampunilah aku karena tiada yang bisa mengampuni segala dosaku selain Engkau. Aku berlindung pada-Mu dari keburukan apa yang aku lakukan’. Jika ini dibaca pada waktu sore kemudian ia mati maka ia langsung masuk surga atau ia termasuk dari penduduk surga, demikian juga jika dibaca pada waktu pagi.”b. Jawāmi’ al-kalimah ungkapan-ungkapan Nabi saw yang sarat makna karena Nabi saw memiliki faá¹£aḥaḥ dalam perkataan yang tidak dimiliki yang diambil contoh seperti sabda Nabi saw tentang umat Islam. Dari AbÅ Hurairah ra. bahwa Rasulullah bersabda المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده . والمهاجر من هجر ما نهى الله عنه artinya “Orang Islam itu adalah orang yang orang-orang Islam lainnya selamat dari lidah dan tangannya.”c. Hadis yang berkaitan dengan masalah aqidah seperti tentang dzat dan sifat Allah, rukun Islam, rukun iman, dan sebagainya. Untuk kategori ini penulis mengambil contoh hadis tentang sifat الله الأرض يوم القيامة، ويØÙˆÙŠ Ø§Ù„Ø³Ù…Ø§Ø¡ بيمينه، ØÙ… يقول أنا الملك، أين ملوك الأرض؟ Artinya “Pada hari kiamat Allah menggenggam bumi dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya. Kemudian Dia berfirman; Akulah yang Raja Diraja, dimanakah para raja dunia itu?’”Namun ketika dihadapkan pada persoalan bahwa hadis bukan hanya berbentuk perkataan saja tetapi juga dengan perbuatan dan ketetapan Nabi saw, para ulama yang bersikeras mempertahankan riwayat hadis secara lafal, seperti Abu Bakar al-Arabi, Muhammad bin Sirin, Raja’ bin Haywah, Qasim bin Muhammad, dan Sa’lab bin Nahwiy, mereka berpendapat bahwa periwayatan redaksi hadisnya secara makna sepenuhnya hanya diperbolehkan pada tingkatan sahabat, mengingat karena para sahabat memiliki pengetahuan bahasa Arab yang tinggi faá¹£aḥaḥ, meskipun tidak setingkat dengan susunan kalimat Nabi saw. dan mereka telah menyaksikan secara langsung keadaan dan perbuatan Nabi saw. Periwayatan secara lafal tidak mungkin seluruh hadis bisa dilaksanakan mengingat pengertian hadis itu sendiri merupakan segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi saw, baik perkataan, perbuatan, penetapan, tekad dan cita-cita Nabi saw, yang tidak semua dalam bentuk perkataan sehingga keharusan periwayatan hadis harus dengan lafal itu tidak bisa terjadi. Tentunya hal ini tetap dalam batasan-batasan yang telah diungkapkan oleh para ulama di atas, yaitu tidak boleh masuk pada ranah hadis yang berbau aqidah, ibadah dan yang mengandung kalimat-kalimat yang sarat makna dari Nabi yang terdapat dalam suatu riwayat bahwa Nabi menyampaikan hadisnya dengan bentuk-bentuk/cara-cara sebagai berikut1. Cara lisan dimuka orang banyak yang terdiri dari kaum Pengajian rutin dikalangan kaum Pengajian diadakan juga dikalangan kaum wanita setelah kaum wanita memintanya. Selain itu masih ada riwayat lain yang menyatakan cara-cara Nabi Menyampaikan hadisnya melalui yaitu1. Dengan lisan dan perbuatan dihadapan orang banyak, di mesjid pada waktu malam dan Hadis Nabi disampaikan sebagai teguran terhadap orang yang melakukan “korupsi” berupa penerimaan hadiah dari Hadis Nabi disampaikan dengan cara lisan, tidak dihadapan orang banyak, berisi jawaban yang diajukan oleh sahabat dan bentuk jawaban Nabi itu berupa tuntutan tekhnis suatu kegiatan yang berkaitan dengan Cara Nabi juga menyampaikan hadisnya selain cara lisan juga secara permintaan penjelasan terhadap sahabat, berupa taqrir atas amalan ibadah sahabat yang belum dicontokan langsung oleh Riwayat lain juga mengatakan cara Nabi menyampaikan hadisnya dengan bentuk Dalam bentuk lain juga Nabi menyampaikan hadisnya tidak dalam bentuk kegiatan melainkan berupa keadaan. Itulah tadi bentuk-bentuk periwayatan hadis dari Nabi dengan beberapa bentuk baik melalui perkataan, berbuatan, taqrir dan ihwal lainnya. Adapun bentuk atau cara-cara Para Sahabat Meriwayatkan Hadis sebagai berikuta. Adakala dengan lafal asli, yakni menurut lafal yang mereka terima dari Nabi yang mereka hafal benar lafal dari Nabi Adakala dengan maknanya saja, yakni mereka maeriwayatkan maknanya bukan lafalnya, karena mereka tidak hafal lafalnya yang asli lagi dari Nabi SAW. Yang penting dari hadis ialah isi, bahasa dan lafal, boleh disusun dengan kata-kata lain, asal isinya telah ada dan sama. Berbeda dengan Periwayatan Alqur’an, yakni harus dengan lafal dan maknanya yang asli tidak sedikitpun boleh diadakan perubahan dalam riwayat itu.[3]b. Bil Ma’naDalam sejarah perjalanan hadits diketahui bahwa sepeninggal Rasulullah SAW. periwayatan hadits itu diperketat agar tidak terjadi periwayatan sesuatu yang bukan dari Nabi SAW tetapi disandarkan kapada Nabi. Disamping itu, hadits harus dilakukan apa adanya, tidak ada penambahan atau pengurangan. Diharapkan, redaksi hadits tidak mengalami dalam kenyataan, banyak dijumpai hadits yang dimaksudkannya sama diungkapkan dengan redaksi yang berbeda-beda. Karena itu, kita menjumpai komentar hadits “muttafaq alaih, wal-lafdzu li muslim, atau wa lafzu lil- bukhori”. Tampaknya peluang riwayat hadits dengan makna itu memang ada. Bukankah hadits itu tidak hanya berupa ucapan, tetapi terkadang berupa tingkah laku nabi. Dalam mendeskripsikan tingkah laku nabi yang diskasikan oleh para sahabat, boleh jadi akan muncul redaksi yang berbeda kendati maksudnya sama. Bahkan, karena kemampuan daya tangkap masing-masing sahabat berbeda, maka boleh jadi kesimpulannya juga sebuah hadits yang menggambarkan bahwa riwayat dengan redaksi yang berbeda itu ditolelir. Abdullah ibn Sulaiman al-laits menyampaikan keterbatasan kemampuannya menerima hadits secara utuh. Artinya ia mengaku tidak mampu menangkap hadits persis seperti apa yang didengarnya. Hurufnya terkadang bertambah, terkadang juga terjadi perbedaan dikalangan para fukaha tentang kebolehan tidaknya meriwayatkan dengan makna, tapi hal ini merupakan ilmu riwayah hadis yang penting, . Diantara kewajiban para perawi, ialah menerangkan cara tahammul ialah dengan cara itu dia menerima apa yang diwahnyukannya. Sebagaimana para ulama sangat memerlukan dengan cara-cara tahammul di waktu menyampaikan hadis kepada orang lain, begitu pula sangat memerlukan penyampaian hadis itu sebagaimana mereka dengar tampa menukar ataupun menggati kalimat-kalimatnya. Bahkan sebahagian ahli hadis, ahli fiqh, dan ahli ushul mengharuskan para rawi meriwayatkan hadis dengan lafalnya yang didengar, tidak boleh dia meriwayatkan dengan maknanya sekali-kali. Demikian juga yang dinukilkan oleh Ibnush Shalah dan An Nawawi, Ibnu Sirien, Tsailab, dan Abu Bakar Ar Razi. mereka berpendapat bahwa perawi-perawi harus meriwayatkan persis sebagai lafadz yang ia bukunya Ahmad Muhammad Å akir yang berjudul IhtiÅ¡ar Ulum Al-Hadis, dalam kaitanya dengan Periwayatan dengan makna. Bahwa seorang perawi yang tidak mengetahui makna hadis sesungguhnya tidak boleh baginya meriwayatkan hadis dengan sifatnya itu. Namun demikian Jumhur Ulama yang lain berpendapat, bahwa boleh bagi perawi hadis menyebut makna bukan lafal, atau meriwayatkan hadis dengan makna apabila dia seorang yang mengetahui bahasa Arab dengan sempurna dan cara-cara orang arab menyusun kalimat-kalimatnya, lagi dia sangat mengetahui makna-makna lafal dan mengetahui pula hal-hal yang bisa merobahkan makna dan yang tidak merobahkannya, Jika ia bersifat demikian, bolelah dia menukilkan lafal hadis dengan makna, karena dia dengan pengertiannya mendalam dapat memelihara riwayatnya dari perobahan makna tersebut. begitu juga dengan pendapat Malik menurut nukilan Al-Khalil ibn Ahmad dan Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal boleh kalau yang diriwayatkan itu bukan hadis marfu’. Bukti yang lebih empiris yang lebih akurat adalah kesepakatan umat memperbolehkan seorang ahli hadis menyampaikan hadis dengan maknanya saja bahkan dengan selain bahasa lain adalah bahwa periwayatan hadis dengan maknanya telah dilakukan oleh para sahabat dan ulama salaf periode pertama. Seringkali mereka mengemukakan suatu makna dalam suatu masalah dengan beberapa redaksi yang berbeda-beda. Hal ini terjadi karena mereka berpegang kepada makna hadis bukan kepada lafalnya. Intinya bahwa periwayatan hadis dengan lafal di utamakan dari pada periwayatan hadis dengan makna. Karena apabila si perawi bukan seorang yang mengetahui hal-hal yang memalingkan makna, maka tidak boleh baginya meriwayatkan hadis dengan makna. Semua ulama sependapat menetapkan, bahwa orang yang demikian itu wajib menyampaikan dengan hadis persis sebagaimana yang ia dengarnya. Al- Imam Asy Syafi’i telah menerangkan tentang sifat-sifat perawi yaitu “Hendaklah orang yang menyampaikan hadis itu seorang yang kepercayaan tentang agamanya lagi dikenal bersifat benar dalam pembicaraannya, memahami apa yang diriwayatkan, mengetahui hal-hal yang memalingkan makna dari lafal dan hendaklah dia dari orang yang menyampaikan hadis persis sebgaimana yang didengar, bukan diriwayatkannya dengan makna, karena apabila dia meriwayatkan dengan makna sedang ia orang tidak mengetahui hal-hal yang memalingkan makna, niscanya tidaklah dapat kita mengetahui boleh jadi dia memalingkan yang halal kepada yang haram. Tetapi apabila dia menyampaikan hadis secara yang didengarnya, tidaklah lagi kita khwatir bahwa dia memalingkan hadis kapada yang bukan maknanya, dan hendaklah ia benar-benar meriwayatkan hadis yang diriwayatkan itu apabila dia meriwayatkan dari lafalnya dan benar-benar memelihara kitabnya jika dia meriwayatkan hadis itu dari kitabnya”. Seluruh ulama sependapat menetapkan, bahwa orang yang tidak mengetahui hal-hal yang merisaukan makna hadis yang diriwayatkan dengan makna, tidak boleh meriwayakan hadis dengan makna. Adapun orang-orang yang mengetahui hal-hal yang merusakkan makna dan yang tidak merusakkannya, maka jumhur ulama membolehkan dia meriwayatkannya hadis dengan makna dengan memenuhi syarat-syarat yang sudah diterangkan itu. Dengan demikian sebagaimana pendapat para ulama maka untuk lebih hati-hati dan menghidari kesalahan dalam meriwayatkan hadis, maka meriwayatkan hadis dengan lafal lebih utama dari pada dengan makna.[4] BAB IIIPENUTUPSimpulan Sebuah periwayatan hadits merupakan bagian proses kodifikasi hadits yang sangat urgen, penting. Karena dalam proses inilah letak kesahihan hadits, apakah hadits tersebut yang memang benar-benar bisa diterima dan tidak ada kontradiksi secara subtansinya dengan al-Qur’an. Sebagimana kita ketahui hadits adalah sebuah perkataan seorang manusia, Nabi, yang tentunya secara gramtika bisa ditiru oleh manusia al-Qur’an adalah perkataan Tuhan, Allah, yang susunan kata-katanya bernilai lebih, baik bahasa, sastra atau tingkat kesulitan olah letak akhir bunyi dan sisi hakikatnya. Untuk itu perlu ada beberapa criteria bagi orang yang akan menerima riwayat maupun yang akan meriwayatkannya. Kesemuaya ini merupakan usaha untuk menjaga kesucian ajaran islam dari pencampuradukan dengan ajaran-ajaran dari luar Islam. Sedangkan dalam masalah matanya, redaksinya, yang merupakan ruh dari hadits tu sendiri, sebisa mungkin redaksi periwayatanya dengn riwayat bil-lafdzi, dan sebisa mungkin menghindari riwayat bil-ma’na meskipipun dalam realitanya ada riwayat dengan cara tersebut, bil-ma’na. seandainya jika kita tidak bisa menghindari periwayatan dengan bil-ma’na tentulah harus kita berikan komponen-kopoen atau variable kehati-hatian agar tidak merubah makna yang tekandung dalam pesan PUSTAKADrs. H. Endang Soetari Ad., Ilmu Hadis, Bandung, Amal Bakti Perss, Ismail, Kaedah Kesahihan Hadis Nabi, Jakarta, Bulan Bintang, 1988. [1] Drs. H. Endang Soetari Ad., Ilmu Hadis, Bandung Amal Bakti Perss, 1997, Cet. II, h. 67. [4] Ismail, Kaedah Kesahihan Hadis Nabi, Jakarta Bulan Bintang, 1988, h. 21